Asalamualaikum.........bagi orang beragama islam ,dan selamat datang bagi orang selain beraga islam.
MANUSIA PURBA DI INDONESIA
Penelitian manusia purba di Indonesia dilakukan oleh :
1. Eugena Dobois,
1. Eugena Dobois,
Dia adalah yang pertama kali tertarik meneliti manusia purba di Indonesia
setelah mendapat kiriman sebuah tengkorak dari B.D Von Reitschoten yang
menemukan tengkorak di Wajak, Tulung Agung.
• Fosil itu dinamai Homo Wajakensis, termasuk dalam jenis Homo Sapien (manusia yang sudah berpikir maju)
• Fosil lain yang ditemukan adalah :
Pithecanthropus Erectus (phitecos = kera, Antropus Manusia,Erectusberjalan tegak) ditemukan di daerah Trinil, pinggir Bengawan Solo, dekat Ngawi, tahun 1891. Penemuan ini sangat menggemparkan dunia ilmu pengetahuan.
• Pithecanthropus Majokertensis, ditemukan di daerah Mojokerto
• Pithecanthropus Soloensis, ditemukan di daerah Solo
• Fosil itu dinamai Homo Wajakensis, termasuk dalam jenis Homo Sapien (manusia yang sudah berpikir maju)
• Fosil lain yang ditemukan adalah :
Pithecanthropus Erectus (phitecos = kera, Antropus Manusia,Erectusberjalan tegak) ditemukan di daerah Trinil, pinggir Bengawan Solo, dekat Ngawi, tahun 1891. Penemuan ini sangat menggemparkan dunia ilmu pengetahuan.
• Pithecanthropus Majokertensis, ditemukan di daerah Mojokerto
• Pithecanthropus Soloensis, ditemukan di daerah Solo
2. G.H.R Von Koeningswald
Hasil penemuannya adalah : Fosil tengkorak di Ngandong,
Blora. Tahun 1936,ditemukan tengkorak anak di Perning,. Tahun 1937 – 1941 ditemukan
tengkorak tulang dan rahang Homo Erectus dan Meganthropus Paleojavanicus di
Sangiran, Solo.
3. Penemuan lain tentang manusia Purba :
Ditemukan tengkorak, rahang, tulang pinggul dan tulang paha manusia Meganthropus, Homo Erectus dan Homo Sapien di lokasi Sangiran, Sambung Macan (Sragen),Trinil, Ngandong dan Patiayam (kudus).
Penelitian tentang manusia Purba oleh bangsa Indonesia dimulai pada tahun 1952 yang dipimpin oleh Prof. DR. T. Jacob dari UGM, di daerah Sangiran dan sepanjang aliran Bengawan Solo.
Fosil Manusia Purba yang ditemukan di Asia, Eropa, dan Australia adalah :
• Semuanya jenis Homo yang sudah maju : Serawak (Malaysia Timur), Tabon (Filipina), dan Cina.
• Fosil yang ditemukan di Cina oleh Dr. Davidson Black, dinamai Sinanthropus Pekinensis.
• Fosil yang ditemukan di Neanderthal, dekat Duseldorf, Jerman yang dinamai Homo Neaderthalensis.
3. Penemuan lain tentang manusia Purba :
Ditemukan tengkorak, rahang, tulang pinggul dan tulang paha manusia Meganthropus, Homo Erectus dan Homo Sapien di lokasi Sangiran, Sambung Macan (Sragen),Trinil, Ngandong dan Patiayam (kudus).
Penelitian tentang manusia Purba oleh bangsa Indonesia dimulai pada tahun 1952 yang dipimpin oleh Prof. DR. T. Jacob dari UGM, di daerah Sangiran dan sepanjang aliran Bengawan Solo.
Fosil Manusia Purba yang ditemukan di Asia, Eropa, dan Australia adalah :
• Semuanya jenis Homo yang sudah maju : Serawak (Malaysia Timur), Tabon (Filipina), dan Cina.
• Fosil yang ditemukan di Cina oleh Dr. Davidson Black, dinamai Sinanthropus Pekinensis.
• Fosil yang ditemukan di Neanderthal, dekat Duseldorf, Jerman yang dinamai Homo Neaderthalensis.
• Menurut Dubois, bangsa asli Australia termasuk Homo
Wajakensis, sehingga ia berkesimpulan Homo Wajakensis termasuk golongan bangsa
Australoid.
Jenis-jenis Manusia Purba yang ditemukan di Indonesia ada tiga jenis :
1. Meganthropus
2. Pithecanthropus
3. Homo
Jenis-jenis Manusia Purba yang ditemukan di Indonesia ada tiga jenis :
1. Meganthropus
2. Pithecanthropus
3. Homo
Jenis
manusia Purba Pithecanthropus
Ciri-ciri manusia purba yang ditemukan di Indonesia :
1. Ciri Meganthropus :
• Hidup antara 2 s/d 1 juta tahun yang lalu
• Badannya tegak
• Hidup mengumpulkan makanan
• Makanannya tumbuhan
• Rahangnya kuat
2. Ciri Pithecanthropus :
• Hidup antara 2 s/d 1 juta tahun yang lalu
Ciri-ciri manusia purba yang ditemukan di Indonesia :
1. Ciri Meganthropus :
• Hidup antara 2 s/d 1 juta tahun yang lalu
• Badannya tegak
• Hidup mengumpulkan makanan
• Makanannya tumbuhan
• Rahangnya kuat
2. Ciri Pithecanthropus :
• Hidup antara 2 s/d 1 juta tahun yang lalu
• Hidup
berkelompok• Hidungnya lebar dengan tulang pipi yang kuat dan menonjol
• Mengumpulkan makanan dan berburu
• Makanannya daging dan tumbuhan
3. Ciri jenis Homo :
• Hidup antara 25.000 s/d 40.000 tahun yang lalu
• Muka dan hidung lebar
• Dahi masih menonjol
• Tarap kehidupannya lebih maju dibanding manusia sebelumnya
• Mengumpulkan makanan dan berburu
• Makanannya daging dan tumbuhan
3. Ciri jenis Homo :
• Hidup antara 25.000 s/d 40.000 tahun yang lalu
• Muka dan hidung lebar
• Dahi masih menonjol
• Tarap kehidupannya lebih maju dibanding manusia sebelumnya
01.
Meganthropus Paleojavanicus (Sangiran).
02.
Pithecanthropus Robustus (Trinil)03. Pithecanthropus Erectus (Homo Erectus)
(Trinil).
04. Pithecanthropus Dubius (Jetis).
05. Pithecanthropus Mojokertensis (Perning).
06. Homo Javanensis (Sambung Macan).
07. Homo Soloensis (Ngandong).
08. Homo Sapiens Archaic.
09. Homo Sapiens Neandertahlman Asia.
10. Homo Sapiens Wajakensis (Tulungagung)
11. Homo Modernman.
04. Pithecanthropus Dubius (Jetis).
05. Pithecanthropus Mojokertensis (Perning).
06. Homo Javanensis (Sambung Macan).
07. Homo Soloensis (Ngandong).
08. Homo Sapiens Archaic.
09. Homo Sapiens Neandertahlman Asia.
10. Homo Sapiens Wajakensis (Tulungagung)
11. Homo Modernman.
Hasil Budaya
- Pithecanthropus Erectus
- Homo
Tentang Manusia Purba Meganthropus Paleojavanicus
Setelah pada postingan yang lalu saya menjelaskan tentang Pengertian
Manusia Purba, sekarang saya akan menjelaskan tentang salah satu Manusia
Purba yang ada di Indonesia, yaitu Meganthropus Paleojavanicus. Jika
anda belum tau pengertian Manusia Purba yang sebenarnya, anda bisa membacanya
di postingan yang judulnya Pengertian
Manusia Purba. OK, langsung saja saya mulai pembahasan tentang Meganthropus
Paleojavanicus.
Berbagai jenis fosil manusia purba telah ditemukan di Indonesia. Antara lain di Jawa, Sumatra Utara, Aceh, Flores, Sulawesi Selatan Bahkan di Kalimantan Selatan. Namun penemuan fosil manusia banyak terdapat di Pulau Jawa, terutama di sekitar aliran Sungai Bengawan Solo. Jenis-jenis manusia purba yang ditemukan di Indonesia Antara lain Pithecanthropus Erectus, Homo, dan yang akan saya bahas kali ini, yaitu Meganthropus Paleojavanicus.
Meganthropus Paleojavanicus adalah manusia purba yang tertua di Indonesia. Meganthropus Paleojavanicus berasal dari kata-kata berikut ini:
Berbagai jenis fosil manusia purba telah ditemukan di Indonesia. Antara lain di Jawa, Sumatra Utara, Aceh, Flores, Sulawesi Selatan Bahkan di Kalimantan Selatan. Namun penemuan fosil manusia banyak terdapat di Pulau Jawa, terutama di sekitar aliran Sungai Bengawan Solo. Jenis-jenis manusia purba yang ditemukan di Indonesia Antara lain Pithecanthropus Erectus, Homo, dan yang akan saya bahas kali ini, yaitu Meganthropus Paleojavanicus.
Meganthropus Paleojavanicus adalah manusia purba yang tertua di Indonesia. Meganthropus Paleojavanicus berasal dari kata-kata berikut ini:
- Mega yang artinya adalah "besar".
- Anthropus yang artinya adalah "manusia".
- Paleo yang artinya adalah "paling tua/tertua".
- Javanicus yang artinya adalah "Jawa".
Jadi Meganthropus Paleojavanicus artinya adalah "manusia bertubuh besar
yang paling tua dari Pulau Jawa". Meganthropus Paleojavanicus diperkirakan
hidup pada dua juta tahun yang lalu. Ciri-ciri Meganthropus Paleojavanicus
adalah sebagai berikut:
- Memiliki tulang pipi yang tebal
- Memiliki otot kunyah yang kuat
- Memiliki tonjolan kening yang mencolok
- Memiliki tonjolan belakang yang tajam
- Tidak memiliki dagu
- Memiliki perawakan yang tegap
- Memakan jenis tumbuhan busuk
Fosil Meganthropus Paleojavanicus ditemukan
oleh Von Koenigswald pada tahun 1936 di daerah Sangiran, Sragen, Jawa Tengah.
Oleh karena temuan-temuan dari fosil Meganthropus ini masih sangat sedikit,
maka sukar menempatkan dengan pasti kedudukannya dalam evolusi manusia dan
hubungannya dengan Pithecanthropus.
Pithecanthropus Erectus
Pithecantropus Erectus Artinya: manusia kera yang
berjalan tegak. Ditemukan oleh Eugene Dubois di Trinil pada tahun 1891. Fosil
yang ditemukan berupa tulang rahang bagian atas tengkorak, geraham dan tulang
kaki. Fosil ini ditemukan pada masa kala Pleistosen tengah.Nama manusia purba
ini berasal dari tiga kata, yaitu pithecos yang berarti kera, anthropus yang
berarti manusia, dan erectus yang berarti tegak. Jadi Pithecanthropus Erectus
berarti “manusia kera yang berjalan tegak”. Nama
sebutan itu didasarkan pada fosil yang ditemukan. Penemuan ini berupa tulang paha yang lebih besar dibandingkan tulang lengan. Demikian juga volume otaknya lebih besar dari pada kera, tetapi lebih kecil dari pada manusia.
Fosil ini ditemukan oleh seorang ahli purbakala dari negara Belanda yang bernama Eugene Dudois. Fosil manusia purba ini ditemukan di Desa Trinil, Ngawi, Jawa Timur tahun 1891. Fosil sejenis juga ditemukan di Desa Jetis Mojokerto di lembah Kali Brantas tahun 1936. Karena temuan itu berupa fosil anak-anak, oleh Weidenreich dinamakan Pithecanthropus Robustus. Von Koenigswald menamakannya Pithecanthropus Mojokertensis, karena ditemukan di Mojokerto.
Ciri-ciri Pithecanthropus Erectus :
sebutan itu didasarkan pada fosil yang ditemukan. Penemuan ini berupa tulang paha yang lebih besar dibandingkan tulang lengan. Demikian juga volume otaknya lebih besar dari pada kera, tetapi lebih kecil dari pada manusia.
Fosil ini ditemukan oleh seorang ahli purbakala dari negara Belanda yang bernama Eugene Dudois. Fosil manusia purba ini ditemukan di Desa Trinil, Ngawi, Jawa Timur tahun 1891. Fosil sejenis juga ditemukan di Desa Jetis Mojokerto di lembah Kali Brantas tahun 1936. Karena temuan itu berupa fosil anak-anak, oleh Weidenreich dinamakan Pithecanthropus Robustus. Von Koenigswald menamakannya Pithecanthropus Mojokertensis, karena ditemukan di Mojokerto.
Ciri-ciri Pithecanthropus Erectus :
- Tinggi badan sekitar 165 – 180 cm
- Volume otak berkisar antara 750 – 1350 cc
- Bentuk tubuh & anggota badan tegap, tetapi tidak setegap megantropus
- Alat pengunyah dan alat tengkuk sangat kuat
- Bentuk graham besar dengan rahang yang sangat kuat
- Bentuk tonjolan kening tebal melintang di dahi dari sisi ke sisi
- Bentuk hidung tebal
- Bagian beltakang kepala tampak menonjol menyerupai wanita berkonde
- Muka menonjol ke depan, dahi miring ke belakang
Homo Wajakensis
- Fosil
manusia purba dari genus homo yang berasal dari kala Pleistosen di
Indonesia ditemukan di Wajak. Fosil yang ditemukan di Wajak adalah Homo
Sapiens, dekat daerah Campurdarat, Tulungagung. Fosil ini ditemukan oleh
Van Rietschoten pada tahun 1889 dan diselidiki pertama kali oleh Dubois.
Fosil yang ditemukan terdiri atas tengkorak, rahang bawah, dan beberapa
ruasleher.
Ciri-ciri Homo Wajakensis sebagai berikut :a. Muka datar dan lebar,
1 Hidung lebar dan bagian mulutnya menonjol,
2 Dahinya agak miring dan di atas mata terdapat busur kening yang nyata,
3 Tenggorokannya sedang, agak lonjong, dan agak bersegi di tengah-tengah atap tengkoraknya dari muka ke belakang, dan
Mukanya lebih Mongoloid karena sangat datar dan pipinya menonjol ke samping.
4 Volume otaknya antara 1000 – 1200 cc - Tinggi badan antara 130 – 210 cm
- Otot tengkuk mengalami penyusutan
- Muka tidak menonjol ke depan
- Berdiri tegak dan berjalan lebih sempurna
Dari ciri-ciri tersebut dapat disimpulkan, manusia Wajak tubuhnya tinggi, isi tengkorak besar, dan sudah menjadi Homo Sapiens. Walaupun demikian, para ahli sulit menentukan ke dalam ras mana Homo Sapiens ini karena ia memiliki dua cirri yaitu ras Mongoloid dan Austromelanesoid. Mungkin Homo Sapiens ini tidak hidup bersamaan dengan ras-ras yang hidup sekarang. Mungkin pula dari ras Wajak itulah subras Melayu Indonesia berasal dan turut revolusi menjadi ras Austromelanesoid yang sekarang.
Homo Sapiens (ras Wajak) ini mungkin meliputi juga ras-ras yang hidup sekitar 25.0000 -40.000 tahun lampau di Asia Tenggara, seperti manusia Niah di Sarawak dan manusia Tabon di Pulau Palawan (Filipina).
Penemuan fosil manusia Wajak menunjukkan bahwa sekitar 40.000 tahun silam Indonesia sudah didiami oleh Homo Sapiens. Oleh karena rasnya sulit dicocokkan dengan ras-ras pokok yang ada sekarang maka manusia Wajak itu dianggap sebagai ras tersendiri. Manusia Wajak tidak berevolusi dari Pithecanthropus, tetapi mungkin dari tahapan Homo Neanderthropus, yang fosilnya belum ditemukan di Indonesia. Mungkin pula dari Homo Neanderthalensis di tempat lain atau hasil evolusi dari Pithecanthropus Soloensis. Para ahli belum dapat menentukannya. Namun yang pasti, ras Wajak tidak hanya mendiami Indonesia bagian barat, tetapi juga sebagian Indonesia Timur yang fosil-fosilnya belum ditemukan.
Perkakas Purba
1.kapak perimbas
Kapak perimbas merupakan pekakas yang terbuat dari batu jenis kapak yang
digenggam dan berbentuk masif. Keberadaan kapak perimbas tersebar hampir
di seluruh wilayah Indonesia, khususnya berkembang di tempat-tempat yang banyak
mengandung bahan batuan yang sesuai untuk pembuatan perkakas-perkakas batu.Kapak perimbas merupakan pekakas yang terbuat dari batu jenis kapak yang digenggam dan berbentuk masif. Kapak perimbas memiliki tajaman yang berbentuk konveks (cembung) atau kadang-kadang lurus diperoleh melalui pemangkasan pada salah satu sisi pinggiran batu. Kulit batu masihmelekat pada sebagian besar permukaan batunya.
Keberadaan kapak perimbas tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, khususnya berkembang di tempat-tempat yang banyak mengandung bahan batuan yang sesuai untuk pembuatan perkakas-perkakas batu. Kapak perimbas banyak ditemukan di Sumatra Selatan (lahat), Lampung (Kalianda), Kalimantan Selatan (Awangbangkal), Sulawesi Selatan (Cabbege), Bali (Sembiran, Trunyan), Sumbawa (Batutring), Flores (Wangka, Maumere, Ruteng), dan Timor (Atambua, Kefanmanu, Noelbaki). Daerah Punung ternyata daerah terkaya akan kapak perimbas sehingga sekarang merupakan tempat penemuan terpenting di Indonesia.
Selain di Indonesia, kapak perimbas banyak ditemukan di wilayah luar Indonesia, khususnya kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur. Ada pun tempat persebaran kapak perimbas adalah Thailand, Pakistan, Myanmar, Malaysia, Cina, dan Indonesia. Kalau dilihat dari sudut teknologinya, ternyata kapak perimbas yang ditemukan di Indonesia memiliki kesamaan dengan yang ditemukan di negara-negara lain.
Movius berpendapat bahwa di Asia Tenggara dan Asia Timur berkembang suatu budaya Paleolitik yang berbeda dengan corak yang berkembang di daerah sebelah barat seperti Eropa, Afrika, Asia Barat, dan sebagian India, khususnya mengenai bentuk dan teknik alat-alat batunya. Hasil penemuan menunjukkan kalau teknik pembuatan yang ada di Asia Timur dan Asia Tenggara adalah monofasial, yaitu pengasahan alat-alat batu dilakukan pada salah satu permukaan saja.
Kegiatan hidup sehari-hari manusia pendukung kebudayaan kapak perimbas (zaman Paleolitikum) adalah mengumpulkan bahan makanan atau food gathering. Berdasarkan penemuan fosil manusia purba, jenis manusia purba yang hidup pada zaman Paleolitikum adalah Pithecanthropus erectus, Homo wajakensis, Meganthropus paleojavanicus, dan Homo soloensis. Fosil ini ditemukan di aliran Sungai Bengawan Solo.
2.kapak
penetak
kapak yang digunakan pada masa paleolitikum awal (hanya
ditemukan di kawasan Asia, sezaman dengan kebudayaan kapak genggam di Eropa
3.kapak
genggam
Kapak genggam dibuat dari gamping kersikan dan berbentuk lonjong.
Dinamakan kapak genggam karena digunukan dengan cara menggenggam, mirip dengan
kapak tetapi tidak bertangkai, yang kemudian sering disebut dengan kapak
genggam, chopper (alat penetak), atau kapak perimbas.Tradisi kapak genggam berlangsung pada zaman Paleolitikum. Kapak genggam digunakan untuk menumbuk biji-bijian, membuat serat-serat dari pepohonan, membunuh binatang buruan, atau sebagai senjata menyerang lawannya. Dinamakan kapak genggam karena digunukan dengan cara menggenggam, mirip dengan kapak tetapi tidak bertangkai, yang kemudian sering disebut dengan kapak genggam, chopper (alat penetak), atau kapak perimbas. Alat ini merupakan sebuah simbol dari keberadaan mereka, baik dari segi pengetahuannya maupun dari segi tingkat peradabanya.
Kapak genggam pernah ditemukan oleh Von Koeningswald pada 1935 di Pacitan, Jawa Timur. Hasil penyelidikan menunjukkan kapak jenis ini berasal dari lapisan Trinil, yaitu pada masa Pleistosen Tengah, sehingga disimpulkan bahwa pendukung kebudayaan kapak genggam adalah manusia Pithecanthropus erectus. Daerah penemuan kapak genggam selain di Punung (Pacitan) Jawa Timur juga ditemukan di daerah Jampang Kulon, Parigi (Jawa Timur), Tambang Sawah, Lahat, dan Kal iAnda (Sumatra), Awangbangkal (Kalimantan), Cabenge (Sulawesi), Sembiran dan Terunyan (Bali).
Selain di Indonesia kapak genggam juga ditemukan diPeking (Tiongkok) pada goa-goa di Choukoutien, serta sejumlah fosil yang mirip Pithecantropus erectus, yang disebut dengan Sinanthropus pekinensis, di mana alat-alat bantu yang ditemukan mirip dengan alat-alat di Pacitan (Soekmono,1973: 32).
Kapak genggam dibuat dari gamping kersikan dan berbentuk lonjong. Pemangkasan dilakukan memanjang ke arah ujungnya yang meruncing, meliputi hampir seluruh permukaan batu dengan meninggalkan sebagian kecil kulit batu pada sebuah sisi permukaan. Pembuatan kapak genggam dilakukan dengan cara memangkas salah satu sisi batu sampai menajam, dan membiarkan sisi yang lainnya apa adanya sebagai tempat memegang.
Pada umumnya kapak gengam dipahat kasar secara memanjang, yaitu suatu teknik yang ada pada
budaya kapak perimbas, tetapi ada juga beberapa buah yang diserpih dengan teliti dan dibentuk teratur (lonjong, bundar). Bentuk-bentuk yang khusus ini ditemukan baik di lembah Baksoko maupun di daerah Tabuhan, dan dapat digolongkan sebagai contoh-contoh yang mirip dengan alat-alat tingkat Acheulean awal, suatu tingkat budaya Paleolitik di Eropa dan Afrika.
Pembuatan dengan cara seperti ini, mereka pelajari dari alam dan pengalaman hidup. Setelah menemukan alat-alat seperti ini, mereka terus berusaha untuk mengembangkannya dengan tujuan mendapatkan yang lebih baik. Hal ini terbukti dengan banyak temuan yang lebih baik dari kapak ganggam dalam kurun waktu berikkutnya. Kapak genggam termasuk ke dalam awal kebudayaan manusia dalam menciptakan peralatan hidup.
Kapak genggam merupakan hasil dari kebudayaan zaman Batu Tua atau Paleolitikum, di mana salah satu manusia pendukungnya adalah Pithecanthropus erectus. Mereka hidup secara berkelompok dan tinggal secara berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain.
Alam merupakan tempat mereka untuk hidup dan mencari makan. Semua itu mereka lakukan demi kelangsungan hidupnya dalam kelompok (keluarga. Pada masa itu mereka melakukan belajar dari alam dan dari orang yang lebih tua. Anak laki-laki yang dianggap sudah cukup usia biasanya dibawa berburu, dengan tujuan memperkenalkan pengetahuan berburu; dengan begitu apabila sudah besar dia bisa berburu sendiri. Belajar dari alam langsung (praktik di lapangan) menjadi pendidikan utama pada masa itu.
4.Alat
serpih
Dalam konteks perkembangan alat-alat batu tingkat
Plestosen di Indonesia dan daerah-daerah sekitar Asia Tenggara, alat serpih
sering kali ditemukan bersama-sama dengan kapak perimbas atau alat batu masif
lainnya. Di beberapa tempat alat serpih merupakan unsur yang dominan yang
terkadang merupakan unsur pokoknya. Alat serpih yang ditemukan di Gua Tabon
(Palawan) dan Gua Niah (Serawak) diperkirakan berlangsung sekitar 30-40 ribu
tahun yang lalu, yakni pada tingkat akhir Plestosen.
Karena alat
serpih ini sering kali ditemukan bersama-sama dengan kapak perimbas dan kapak
genggam, maka alat serpih diperkirakan berada pada zaman Paleolitikum. Dilihat
dari letak persebaran alat serpih ternyata tidak jauh berbeda dengan persebaran
alat zaman Paleolitikum lainnya, di mana semua alat itu tersebar di Asia
Tenggara dan Asia Timur.
Perkembangan
Alat Serpih di Indonesia
Di Indonesia
alat serpih ditemukan pada tingkat yang lebih tua, yaitu pada akhir
Plestosen Tengah atau permulaan Plestosen Atas. Tempat penemuan yang sangat
penting di Indonesia mengenai alat serpih adalah Punung, Sangiran, dan Ngandong
di Jawa; Cabbenge di Sulawesi Selatan; Mengeruda di Flores; serta Gassi Liu dan
Sagadat di Timor. Selain itu alat ini ditemukan di Lahat (Sumatra Selatan),
Gombong (Jawa Tengah), dan beberapa tempat di Timor sebagai unsur minor dalam
satu konteks dengan kapak perimbas.
Tradisi alat
serpih menghasilkan perkakas-perkakas yang berbentuk sederhana dengan
memperlihatkan kerucut pukul yang jelas. Bahan batuan yang umum digunakan untuk
membuat alat ini adalah beberapa jenis batuan tufa dan gamping kersikan serta
batuan endap.
Alat serpih
yang ditemukan bersama-sama pekakas masif dilembah Kali Baksoko, Gede, Sunglon,
dan Sirikan di dekat Punung merupakan unsur yang penting pula dari Budaya
Pacitan, terbukti dari kehadiran jenis perkakas ini yang melebihi separuh dari
jumlah alat-alat batu yang ditemukan. Alat serpih dan bilah berukuran kecil dan
besar (antara 4-10 cm), dan rata-rata menunjukan kerucut pukul yang jelas.
Sesuai dengan bentuk-bentuknya, alat-alat tersebut digunakan sebagai penggaruk
atau serut, gurdi, penusuk, pisau. Sebagian alat dan bilah menunjukan teknik
pembuatan yang telah maju, dengan penyiapan bentuk-bentuk alat secara teliti
sebelum dilepaskan dari batu intinya sehingga pada sejumlah alat tampak
faset-faset dari dataran pukulnya (teknik pseudo Levallois). Di dalam konteks
tradisi alat serpih tingkat Plestosen di Indonesia, sebagian alat serpih-bilah
dari Punung ini tergolong maju.
Kondisi
Sosial Masyarakat
Berdasarkan
alat-alat yang ditemukan, masa berburu dan mengumpulkan makanan, alat serpih
termasuk pada masa Palaeolitikum atau Zaman Batu Tua. Ciri utama dari zaman
ini, adalah alat-alat dibuat sangat sederhana, kasar dan tidak halus karena
belum banyak mengenal penghalusan atau pengasahan. Jenis manusia pendukung masa
Palaeolitikum adalah jenis Pithecantrhopus.
Manusia pada
masa ini sangat tergantung pada sumber daya alam. Kebutuhan hidup mereka ada
pada alam. Agar dapat bertahan hidup, manusia pada masa ini harus berburu dan
mengumpulkan makanan. Untuk itu tidak mengherankan jika mereka hidupnya
berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya yang ada sumber makanan.
Binatang
yang dapat mereka buru, antara lain babi, rusa, burung atau menangkap ikan di
sungai, danau dan pantai. Perburuan yang mereka lakukan di hutan-hutan, di sekitar
daerah di mana mereka tinggal. Binatang yang berhasil ditangkap biasanya mereka
bakar sebelum dimakan. Dengan demikian pada masa berburu dan mengumpulkan
makanan, manusia pada masa ini sudah mengenal api. Selain berburu, mereka juga
mengumpulkan umbi-umbian atau tumbuh-tumbuhan yang bisa dimakan.
Guna
menghadapi tantangan alam yang begitu keras, terutama dari serangan binatang
buas mereka perlu bekerja sama. Tidak mengherankan jika hidup mereka pada masa
ini berkelompok. Dengan berkelompok akan memudahkan mereka untuk menaklukkan
binatang buas atau binatang buruan. Hidup berkelompok memudahkan perburuan dan
keamanan.
Contoh
alat-alat yang ditemukan pada masa berburu dan mengumpulkan makanan, antara
lain alat-alat serpih atau disebut dengan flakes.
Bentuk alat ini sederhana dan dibuat kecil-kecil sekali dengan ukuran antara
10-20 cm. Berdasarkan bentuknya, alat-alat serpih ini berfungsi sebagai pisau,
gurdi atau penusuk.
5.Alat-alat
tulang
Dua hal yang sangat menentukan kehidupan manusia
pada zaman berburu adalah alat-alat seperti alat dari tulang dan api. Pembuatan
peralatan dari tulang merupakan bagian tersendiri yang makin lama-makin maju ke
arah penyempurnaan, baik bentuk maupun fungsinya. Alat-alat yang digunakan pada
masa ini, termasuk alat dari tulang, ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dalam
perburuan. Peralatan yang terbuat dari tulang ternyata tidak hanya ditemukan di
Indonesia, namun banyak ditemukan di luar Indonesia.
Perkembangan
Kebudayaan Alat Tulang
Raymond Dart berpendapat bahwa alat yang pertama kali digunakan oleh Australopithecus bukan dari batu, melainkan dari kayu maupun tulang. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya data di situs perburuan yang menunjukkan adanya fragmen tulang Australopithecus yang memunyai konteks temuan dengan tulang singa dan alat-alat berupa lancipan tulang serta tanduk. Diperkirakan alat tersebut berfungsi sebagai penusuk karena bagian distalnya yang meruncing, diperkeras dengan pembakaran. Selain itu, juga ditemukan fragmen tulang kaki yang berfungsi sebagai alat pemukul.
Di luar Indonesia Raymond Dart berpendapat bahwa alat yang pertama kali digunakan oleh Australopithecus bukan dari batu, melainkan dari kayu maupun tulang. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya data di situs perburuan yang menunjukkan adanya fragmen tulang Australopithecus yang memunyai konteks temuan dengan tulang singa dan alat-alat berupa lancipan tulang serta tanduk. Diperkirakan alat tersebut berfungsi sebagai penusuk karena bagian distalnya yang meruncing, diperkeras dengan pembakaran. Selain itu, juga ditemukan fragmen tulang kaki yang berfungsi sebagai alat pemukul.
Tradisi pembuatan alat tulang dan tanduk nampaknya merupakan hal yang bersifat universal. Di Eropa Barat pernah berkembang alat-alat dari tulang pada masa Paleolitik Akhir di situs Magdaleine (Dordogne, Prancis) yang kemudian disebut kebudayaan Magdalenian. Ciri-ciri kebudayaan ini juga nampak di situs Creswell Crags (disebut Kebudayaan Creswellian). Di Asia daratan tradisi alat tulang dan tanduk muncul di daerah Tonkin. Tradisi ini bercampur dengan tradisi kapak Sumatra yang agak kasar. Selain itu, di wilayah Hoabinh juga terdapat temuan artefak tulang di situs-situs gua, yang jumlahnya lebih sedikit apabila dibandingkan dengan temuan kapak genggam Sumatra, sebaran alat tulang juga ditemukan di Da But (Vietnam Utara). Di Indonesia cukup banyak situs yang mengandung tradisi alat tulang dan tanduk.
Di Indonesia
Di kawasan Asia Timur, Asia Tenggara, khususnya Indonesia tidak begitu cepat mengalami perubahan dalam hal peralatan hidup baik fungsi, bahan, dan bentuknya. Keterlambatan perkembangan peralatan yang terbuat dari batu dan tulang ini, mungkin disebabkan oleh terlalu banyaknya menggunakan peralatan dari kayu sehingga tidak memfokuskan kepada peralatan dari tulang dan tanduk, selain karena keadaan alam yang ikut menjadikan manusia sulit mengembangkan peralatan.
Api menjadi salah satu sumber kehidupan manusia,
baik pada masa berburu dan meramu. Api pertama kali dikenal manusia sebagai
gejala alam di sekelilingnya, yang disebabkan percikan gunung api, kebakaran
padang rumput dan hutan yang kering karena halilintar, atau penggosongan
dahan-dahan kering di waktu angin bertiup, nyala api yang tersembul dari
tempat-tempat yang mengandung gas bumi. Api ini sangat berguna bagi manusia,
seperti untuk perlindungan dari binatang buas, menerangi, maka mulai sejak itu
api mulai dipelihara.
Pembuatan alat tulang pada masa Plestosen sementara ini hanya diketahui dari
Ngandong sebagai unsur yang ditemukan dalam konteks Pithecanthropus
soloensis dan alat-alat lain yang diperbuat tanduk, serpih, dan batu-batu
bundar.Alat-alat tulang berupa sudip dan mata tombak yang bergerigi pada kedua belah sisinya, panjangnya 9,5 cm. Alat tulang ini ada hubungannya dengan Pithecanthropus soloensis. Alat-alat dari tanduk menjangan memperlihatkan bagian yang diruncingkan. Dari ikan pari ditemukan pula dan mungkin digunakan sebagai mata tombak. Kegunaan batu-batu bulat dan kelompok penemuan Ngandong diduga sebagai batu pelempar yang diikatkan pada tali untuk memburu hewan buruan.
Tradisi alat tulang dan tanduk tampak dilanjutkan pada kala pasca-Plestosen dalam kehidupan di gua-gua. Di Gua Sampung ditemukan sejumlah besar sudip tulang dan alat-alat tanduk yang diupam. Perkakas tanduk digunakan sebagai pencukil atau belati. Sejauh yang diketahui saat ini, persebaran alat tulang dan tanduk terdapat di Kalimantan Selatan, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Bali, dan Nusa TenggaraTimur.
Kehidupan Sosial
Pada masa Plestosen, manusia di Indonesia sangat tergantung kepada kondisi alam. Daerah-daerah yang menjadi tempat tinggal mereka harus memungkinkan untuk hidup atau harus menyediakan bahan yang mampu menopang hidup manusia. Oleh karena itu, tempat tinggal mereka itu cukup mengandung air dan makanan, terutama tempat-tempat yang sering dikunjungi oleh binatang. Tempat-tempat seperti ini biasanya berupa padang rumput, semak belukar, dan hutan yang kecil berdekatan dengan sungai dan danau. Di sekitar inilah manusia membuat pemukiman atau tempat tinggal mereka bersama kelompoknya. Mereka menetap dalam jangka waktu tertentu sampai cadangan makanan di tempat mereka tinggal habis, dan setelah itu biasanya mereka pergi untuk mencari tempat baru yang bisa mendukung mereka untuk hidup.
Manusia hidup berkelompok dan membekali diri untuk menghadapi lingkungan di
sekitarnya. Apa yang mereka hadapi bukan hanya dari binatang buas, tetapi juga
kondisi alam yang tidak setabil. Kondisi alam yang liar ini menjadi salah satu
penghambat perkembangan penduduk. Selain tantangan dari alam, mereka juga harus
menghadapi tantangan dari dalam: kematian anak-anak waktu kelahiran. Kematian
waktu melahirkan menjadi penghambat perkembangan jumlah anggota kelompoknya.Pada masa Plestosen, manusia di Indonesia sangat tergantung kepada kondisi alam. Daerah-daerah yang menjadi tempat tinggal mereka harus memungkinkan untuk hidup atau harus menyediakan bahan yang mampu menopang hidup manusia. Oleh karena itu, tempat tinggal mereka itu cukup mengandung air dan makanan, terutama tempat-tempat yang sering dikunjungi oleh binatang. Tempat-tempat seperti ini biasanya berupa padang rumput, semak belukar, dan hutan yang kecil berdekatan dengan sungai dan danau. Di sekitar inilah manusia membuat pemukiman atau tempat tinggal mereka bersama kelompoknya. Mereka menetap dalam jangka waktu tertentu sampai cadangan makanan di tempat mereka tinggal habis, dan setelah itu biasanya mereka pergi untuk mencari tempat baru yang bisa mendukung mereka untuk hidup.
Segala upaya manusia lakukan untuk keberhasilan memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka melakukan perburuan, dengan menggunakan alat-alat yang masih sederhana. Alat dari batu dan alat-alat dari tulang menjadi menjadi salah satu senjata mereka untuk melakukan perburuan. Perburuan dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil, dan hasilnya dibagi bersama-sama.
Kelompok berburu tersusun dari kelurga kecil:
yang laki-laki melakukan perburuan, yang perempuan mengumpulkan makanan dan
mengurusi anak-anak. Peranan perempuan ini sangat penting sekali dalam memilih
tanaman yang dapat dimakan dan mengajarkannya kepada anak-anaknya. Kewajiban-kewajiban
seperti inilah yang membuat perempuan tidak ikut perburuan di daerah luas, dan
sedikit banyak mengurangi gerak berpindah-pindah kelompok. Dengan lingkuangan
yang terbatas, perempuan sangat memahami profesinya sebagai seorang ibu dalam
keluarga. Dia sangat memahami tentang seluk-beluk tumbuh-tumbuhan, meningkatkan
cara penyimpanan makanan, dan mendidik anak-anak dalam mempersiapkan diri
mengenal alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar