Asalamualaikum...................bagi orang beragama islam dan selamat datang bagi orang selain beragama islam.
Intonasi adalah “...the assemble of pitch variations in speech caused by the varying periodicity in the vibrations of the vocal cords.”
‘rangkaian variasi nada dalam tuturan yang disebabkan oleh vibrasi pita
suara’(‘t Hart, Collier, dan Cohen, 1990:2). Batasan yang diberikan
oleh ‘t Hart, Collier, dan Cohen di atas mengimplikasikan bahwa, pertama,
intonasi dimanifestasikan dalam wujud nada. Oleh sebab itu, unsur yang
terpenting dalam sistem intonasi bahasa adalah nada, lebih lengkapnya
variasi nada. Kedua, nada
secara fisiologis dihasilkan melalui getaran pita suara yang terletak di
dalam laring organ alat ucap. Getaran pita suara ini pulalah yang
menyebabkan pergeseran pertikel udara yang kemudian menghasilkan bunyi.
Intonasi
merupakan fenomena bahasa yang universal. Semua bahasa memiliki sistem
intonasi kecuali Amahuaca, yaitu sebuah bahasa yang menurut Bolinger
(1964) tidak memiliki sistem intonasi (Lehiste, 1970:100). Walaupun
intonasi merupakan fenomena universal, setiap bahasa memiliki
karakteristik yang khas yang belum tentu dimiliki oleh bahasa-bahasa
lain. Boleh dikata tidak ada dua bahasa yang benar-benar memiliki
karakateristik intonasi yang sama persis.
Pada dasarnya intonasi tidak dapat mengubah makna leksikal (Lehiste, 1970:96). Walaupun demikian, dalam komunikasi lisan intonasi tetap memiliki fungsi yang penting. Pertama, intonasi dapat memberi signal sintaktis. Kedua, intonasi dapat memberi signal semantis (Ball dan Muller, 2005:108). Alwi et al.
(2003:55) menyatakan bahwa pada semua bahasa, nada memberikan informasi
sintaksis. Penelitian Sugiyono (2003a) terhadap bahasa Melayu Kutai
telah membuktikan bahwa ciri prosodik pola intonasi merupakan penanda
kontras antara kalimat deklaratif dan interogatif. Hasil penelitian
serupa terhadap bahasa Jawa ragam Keraton Yogyakarta yang dilakukan
Rahyono (2003) menyatakan bahwa alir nada dalam intonasi adalah unsur
yang mengontraskan modus kalimat. Hasil-hasil penelitian tersebut
sejalan pula dengan hasil kajian Halim (1984) yang telah membuktikan
bahwa dalam bahasa Indonesia intonasi memiliki fungsi demarkatif, yaitu
merupakan alat penting sebagai pembatas konstituen topik dan sebutan.
Pada tataran semantis, intonasi dapat memberi informasi bagian mana yang
menjadi informasi baru (new information) dan informasi lama (given information)
(Ball dan Muller, 2005:108) atau mana yang menjadi fokus informasi dan
mana yang bukan menjadi fokus informasi. Dalam intonasi, biasanya,
bagian yang memuat informasi baru atau fokus informasi diberi tekanan.
Ketiga,
pada tataran pragmatis berdasarkan pengalaman empiris dalam percakapan
sehari-hari, pendengar sering memberi perhatian khusus terhadap intonasi
penutur. Pike menyatakan bahwa makna intonasi sering kali lebih
diperhatikan daripada makna leksikal. Orang lebih tertarik memperhatikan
sikap penutur (attitude);
apakah seorang penutur mengatakan sesuatu dengan senyum atau dengan
sinis (Pike, 1945:20). Dari penjelasan tadi, dapat dikatakan bahwa salah
satu fungsi intonasi adalah sebagai penanda kesantunan dan emotif.
Selain itu, Pike menjelaskan pula bahwa perbedaan konfigurasi nada dalam
ujaran dapat mengimplikasikan perubahan hubungan penutur dan kalimatnya
atau kalimat terhadap lingkungannya (Pike, 1945:20). Contohnya, sikap
ragu-ragu seseorang dapat disignalkan oleh intonasinya.
Keempat, ditinjau
dari kacamata sosiolinguistik, intonasi dapat memberi gambaran adanya
kelas-kelas sosial dalam masyarakat. Penelitian Syarfina (2008) terhadap
bahasa Melayu Deli membuktikan bahwa ciri-ciri akustik dalam intonasi
merupakan pemarkah kelas-kelas sosial dalam masyarakat. Oleh sebab itu, sangat mungkin pula identitas asal daerah teridentifikasi dari intonasinya. Ball dan Muller menjelaskan,”All
languages will have a set number of different possible nuclear pattern;
and these are also likely to differ from dialect to dialect“(Ball dan Muller, 2005:108)
Kelima,
dari sudut pandang wacana lisan, intonasi merupakan unsur yang tidak
dapat diabaikan karena intonasi merupakan salah satu pilar utama dalam
wacana lisan. Dalam praktik berbahasa sehari-hari bersama dengan
unsur-unsur bahasa lainnya seperti unsur leksikal, tata kalimat, dan
tekanan; intonasi ikut pula membangun kohesi wacana dalam komunikasi
lisan (Halim, 1984:1). Ketidakakuratan
pemakaian pola intonasi dalam konteks komunikasi tertentu maupun
penafsirannya dapat menyebabkan kegagalan penyampaian dan pemaknaan
pesan (pragmatic failure).
Oleh sebab itu, pengetahuan, penguasaan, dan kepekaan terhadap intonasi
merupakan suatu keharusan seorang penutur bahasa jati.
Keenam,
kaitannya dengan pemelajaran bahasa, pengetahuan tentang intonasi dapat
membantu seseorang yang sedang mempelajari suatu bahasa untuk dapat
berbicara mendekati karakteristik tuturan penutur asli bahasa yang
sedang dipelajari.
Dari
paparan di atas, secara teoretis dapat disimpulkan bahwa kajian tentang
intonasi menjadi sangat penting. Selayaknya setiap bahasa memiliki
deskripsi yang lengkap berkaitan dengan sistem intonasi. Akan tetapi, di
banyak negara kajian intonasi hingga kini belum cukup memuaskan jika
dibandingkan dengan kajian-kajian dalam ilmu linguistik lainnya. Masalah
serupa terjadi pula di Indonesia. Kajian tentang intonasi bahasa di
Indonesia masih menjadi barang langka.
Dengan
adanya ketimpangan yang tadi disebutkan, beberapa peneliti Indonesia
maupun dari luar telah melakukan kajian intonasi di Indonesia dengan
mendalam. Mereka adalah Alisjahbana, Armijn Pané, A.A. Fokker, Suparno
(Baca Rahyono, 2003 &Sugiyono, 2003), Halim (1969, 1974, dan 1984),
Samsuri (1971), Alieva et al. (1991), Ebing (1997), Rahyono (2003), Sugiyono
(2003), Stoel (dalam Heuven & Ellen van Zanten, 2007), Syarfina
(2003), dan Sustiyanti (2009). Selain itu, terdapat pula bahasan
intonasi secara sepintas dalam Buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia
(2003:84-86) dan Moeliono (1989). Namun, jika diukur dengan parameter
jumlah bahasa yang hidup di Indonesia, hingga kini usaha-usaha
penelitian yang dilakukan oleh para peneliti di atas belum menutupi
kerumpangan kajian intonasi di Indonesia. Masalah lain adalah
kajian-kajian di atas masih terfokus pada bahasa Indonesia sebagai objek
kajian, sedangkan bahasa-bahasa daerah belum diteliti secara mendalam.